DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kurban Idul Adha Tanpa Hewan: Sebuah Tafsir Baru

image
Tafsir Baru soal Kurban Idul Adha Tanpa Hewan: Respons atas Esai Denny JA (Cosmoabc.com/Kiriman)

Oleh Budhy Munawar-Rachman  

COSMOABC.COM - Dalam beberapa dekade mendatang, tepatnya tahun 2070, apakah kita akan melihat perubahan signifikan dalam tradisi kurban Idul Adha? 

Pertanyaan ini muncul dari renungan Denny JA ketika membaca sebuah esai berjudul "An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice" karya Shahid Ali Muttaqi. Denny mengusulkan tafsir alternatif yang menantang praktik kurban hewan dalam ritus agama.

Baca Juga: Denny JA Sebut Kreator yang Andalkan AI untuk Karya Seni Akan Semakin Dominan dan Bertahan 

Secara tradisional, kurban hewan merupakan bagian tak terpisahkan dari Idul Adha. Menurut pandangan mainstream, yang juga dipegang teguh oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), praktik ini adalah kisah nyata Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan dirinya sebagai bukti ketaatannya kepada Tuhan. 

Pada akhirnya, Tuhan mengganti mengorbankan anak tersebut dengan seekor hewan. Bagi MUI, kurban hewan adalah esensial dan tidak dapat digantikan oleh bentuk lain apapun kenyamanannya.

Pandangan Muhammadiyah lebih fleksibel. Pada situasi tertentu, seperti pandemi COVID-19, Muhammadiyah mengizinkan kurban diganti dengan bentuk sedekah lain seperti dana tunai. 

Baca Juga: Denny JA Diganjar Penghargaan Internasional Lifetime Achievement Award 2024: Masuk 200 Tokoh Berpengaruh di Dunia!

Pada tahun 2020, Muhammadiyah bahkan mengumumkan secara resmi bahwa untuk menghindari kemacetan dan risiko penularan COVID-19, kurban dapat diganti dengan bantuan tunai.

Berbeda dari dua pandangan sebelumnya, Shahid Ali Muttaqi menawarkan interpretasi yang lebih filosofis. Menurutnya, yang penting dalam kisah Nabi Ibrahim bukanlah hewan yang dikorbankan, melainkan esensi ketakwaan dan pengabdian kepada Tuhan. 

Tafsir ini mengedepankan nilai moral bahwa manusia harus lebih mencintai kebenaran dan Tuhan daripada siapapun, termasuk anak kandungnya sendiri. Dalam pandangan ini, pengorbanan hewan dapat ditafsir ulang dan tidak harus menjadi bagian dari ritus agama.

Baca Juga: Respon atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Rights

Ada tiga faktor penguat pandangan Shahid Ali Muttaqi. Pertama, Filosofis Kesepakatan: Banyak yang sepakat bahwa kisah Nabi Ibrahim lebih bermakna sebagai ajaran moral tentang pengabdian total kepada Tuhan. Dalam konteks ini, hewan sebagai kurban tidak lagi menjadi pusat cerita.

Kedua, Keberagaman Dimensi Sosial: Kurban tidak harus berbentuk hewan; bisa berupa bantuan tunai atau bentuk derma lainnya yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Dengan dana kurban, bantuan bisa lebih variatif, seperti untuk pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan lainnya yang lebih mendesak.

Ketiga, Kesadaran Lingkungan dan Hak Hewan: Kesadaran terhadap hak-hak hewan dan lingkungan semakin meningkat. Banyak yang merasa tidak nyaman dengan praktik penyembelihan hewan massal dalam ritual agama. 

Baca Juga: Respons atas Esai Denny JA soal Kurban Hewan di Era Animal Rights: Simbol Solidaritas Sosial 

Data menunjukkan bahwa lebih dari 50% rumah tangga di Amerika Serikat dan Eropa memelihara hewan peliharaan, dan penelitian menunjukkan bahwa hewan juga memiliki kesadaran dan kemampuan merasakan penderitaan.

Pada era sebelumnya, kesadaran akan hak-hak hewan tidak diragukan lagi sekarang. Namun, dengan semakin banyaknya film, penelitian, dan cerita nyata yang menunjukkan kedekatan emosional manusia dengan hewan, pandangan masyarakat mulai berubah. 

Misalnya, film "Hachiko" yang menampilkan kesetiaan seekor anjing kepada kupu-kupu telah menyentuh banyak hati dan memperkuat argumen bahwa hewan memiliki kesadaran dan perasaan.

Baca Juga: ORASI DENNY JA: Berakhirnya Era Kreator yang Tak Gunakan Artificial Intelligence

Maka, ulangi yang sudah disebutkan di atas, menurut Denny, kita dihadapkan pada tiga pandangan yang berbeda tentang kurban Idul Adha: 

Pertama, pandangan mayoritas: Kurban hewan adalah wajib dan tidak bisa diganti. Kedua, pandangan Muhammadiyah: Dalam kondisi tertentu, kurban hewan bisa diganti dengan bentuk sedekah lainnya; dan ketiga, pandangan Shahid Ali Muttaqi: Kurban hewan tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari ritus agama, dan bisa digantikan dengan bentuk pengabdian lainnya yang lebih relevan.

Menurut Denny, kita hidup di zaman yang menghargai perbedaan tafsir dan keyakinan. Perbedaan interpretasi dalam hal agama adalah hal yang wajar dan seharusnya diterima dengan sikap toleran. 

Dalam menghadapi perbedaan ini, utamakanlah dialog dan saling menghormati, membiarkan setiap individu atau komunitas memilih tafsir yang sesuai dengan nilai-nilai mereka.

Pandangan Shahid Ali Muttaqi mungkin belum menjadi mainstream saat ini. Namun dengan berkembangnya kesadaran sosial dan filosofi yang terus berkembang, bukan tidak mungkin pandangan ini akan mendapatkan lebih banyak dukungan di masa depan. 

Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa tetap menghormati dan menghargai setiap perbedaan dalam menjalankan keyakinan agama kita masing-masing.

**Tanggapan terhadap Denny JA**

Saya memuji pandangan Denny di atas, yang mencari alternatif pandangan pertama dan kedua, dengan pandangan ketiga. 

Dalam renungannya tentang Idul Adha, Denny mengusulkan bahwa hewan tidak harus selalu menjadi bagian dari kurban dalam ritus agama ini. Saya mengapresiasi pandangan Denny JA dengan mempertimbangkan data ekologi dan pengaruhnya terhadap lingkungan.

Dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu lingkungan dan hak-hak hewan telah mendapatkan perhatian lebih besar di seluruh dunia. 

Hal ini mendorong berbagai kalangan, termasuk cendekiawan dan pemikir agama, untuk meninjau kembali praktik-praktik tradisional yang mungkin bertentangan dengan kesadaran ekologis dan etika kontemporer.

Kurban hewan selama Idul Adha adalah praktik yang telah berlangsung selama berabad-abad dan memiliki akar yang mendalam dalam sejarah Islam. Praktik ini tidak hanya memiliki makna religius tetapi juga sosial dan ekonomi. 

Namun, dengan kesadaran yang berkembang akan berdampak pada lingkungan dari berbagai aktivitas manusia, termasuk penyembelihan massal hewan, ada kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali praktik-praktik ini.

Produksi daging memiliki dampak lingkungan yang signifikan, mulai dari deforestasi hingga lahan peternakan hingga emisi gas rumah kaca yang tinggi. Menurut sebuah laporan yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), penyediaan sektor menyediakan sekitar 14,5% dari emisi gas rumah kaca global, yang sebagian besar berasal dari produksi daging sapi dan kambing. 

Selain itu, produksi daging membutuhkan jumlah udara yang sangat besar. Misalnya, untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi, diperlukan sekitar 15.000 liter udara.

Deforestasi adalah masalah besar lainnya yang berkaitan dengan produksi daging. Untuk menyediakan lahan bagi ternak, hutan-hutan sering kali ditebang, yang tidak hanya mengurangi keanekaragaman hayati tetapi juga menghilangkan fungsi penting hutan dalam menyerap karbon dioksida. Menurut World Wildlife Fund (WWF), sekitar 80% deforestasi Amazon disebabkan oleh peternakan.

Selain dampak ekologis, ada juga pertimbangan etika mengenai hak-hak hewan. Banyak organisasi dan individu sekarang menyuarakan pentingnya memperlakukan hewan dengan lebih manusiawi. 

Mereka berargumen bahwa hewan memiliki kemampuan untuk merasakan sakit dan penderitaan, dan oleh karena itu, mereka harus dilindungi dari perlakuan yang kejam.

Shahid Ali Muttaqi, yang dikutip oleh Denny JA, menekankan bahwa esensi dari kisah Nabi Ibrahim bukanlah pada fisik hewan yang dikorbankan, tetapi pada ketakwaan dan pengabdian kepada Tuhan. Ini adalah perspektif yang berfokus pada nilai-nilai moral dan spiritual daripada praktik penyembelihan fisik.

Denny dengan berani mengusulkan sebuah tafsir yang relevan dengan zaman sekarang, yang menekankan pada pentingnya nilai-nilai moral dan etika daripada praktik fisik yang mungkin tidak lagi relevan atau bahkan merusak konteks saat ini. Beberapa alasan mengapa pandangan Denny JA patut diapresiasi:

Pertama, solusi yang lebih berkelanjutan. Dalam menghadapi krisis lingkungan global, pandangan Denny JA menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan. Dengan mengurangi penyembelihan hewan, kita dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti emisi gas rumah kaca dan deforestasi.

Kedua, kepedulian terhadap hak-hak hewan. Pandangan ini juga menunjukkan kepedulian terhadap hak-hak hewan. Dengan penekanan pada ketakwaan dan pengabdian, kita dapat menghormati kehidupan hewan dan menghindari perlakuan yang kejam dan tidak perlu. 

Wawasan kepedulian terhadap hak-hak hewan, memang masih jarang dikemukakan di Indonesia. Tetapi saya membayangkan adanya kerusakan keanekaragaman hayati di Indonesia yang begitu intens, kepedulian terhadap hak-hak hewan, dan selanjutnya tumbuhan dan alam, saya kira ini akan menjadi topik penting; Mulai dari keterkaitannya dengan kehidupan manusia, sampai kesadaran baru tentang adanya nilai intrinsik pada alam, tumbuhan dan hewan. 

Ini juga seperti yang dikemukakan filsafat ekologi terbaru, sejak Deep Ecology.

Ketiga, soal ketakwaan. Tafsir Denny ini mengingatkan kita pada inti dari kisah Nabi Ibrahim, yaitu ketakwaan dan pengabdian kepada Tuhan. Dengan fokus pada nilai-nilai ini, kita dapat menjalankan ritus agama dengan cara yang lebih relevan dan bermakna dalam konteks saat ini. 

Makna ketakwaan pun perselisihan, bukan hanya terkait pemaknaan tradisional berkurban, tapi juga berkurban dalam maknanya yang baru di era yang sekarang disebut “Anthropocene.” 

Era di mana manusia menuntut tanggung jawab yang besar dalam pemeliharaan dan penyelamatan bumi, sebagai rumah kita bersama, semua makhluk di bumi, bukan hanya manusia. 

Anthropocene adalah kisah tentang kemanusiaan di bumi ini, yang tumbuh, membangun, merusak, dan akhirnya sekarang harus menilai diri sendiri, atau berefleksi atas kerusakan yang sudah dibuatnya.

Keempat, nilai sosial. Dengan memungkinkan bentuk kurban yang lebih bervariasi, seperti sedekah atau bantuan tunai, kita dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini juga memungkinkan kita untuk menyesuaikan praktik keagamaan dengan situasi sosial dan ekonomi yang berbeda.

Denny mengingatkan kita bahwa di era pandemi COVID-19 kenyataan yang terjadi dalam praktik kurban dapat sangat bermanfaat. Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, merekomendasikan agar pada masa pandemi, kurban diganti dengan sedekah tunai untuk menghindari penyebaran dan risiko penularan virus. 

Ini adalah contoh bagaimana adaptasi terhadap situasi kontemporer dapat dilakukan tanpa mengorbankan esensi dari ibadah itu sendiri.

Menerapkan tafsir alternatif seperti yang diusulkan Denny JA, ada beberapa langkah yang saya pikir dapat diambil untuk mengadvokasi perubahan ini seperti: meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak lingkungan dan hak-hak hewan. Edukasi dapat dilakukan melalui berbagai media, seminar, dan diskusi publik.

Selanjutnya, pemerintah dan organisasi keagamaan dapat mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang mendukung praktik kurban yang lebih ramah lingkungan dan etis. 

Kemudian, masyarakat sipil atau organisasi keagamaan perlu menyediakan alternatif yang praktis dan mudah diakses, seperti platform donasi online, yang dapat memudahkan masyarakat untuk melaksanakan kurban dalam bentuk yang berbeda-beda.

Mengingat isu lingkungan adalah masalah global, kerja sama internasional dalam berbagi pengetahuan dan praktik terbaik dapat membantu mempercepat penerapan solusi yang lebih berkelanjutan.

Meskipun pandangan Denny JA menawarkan banyak keuntungan, tentu ada tantangan dan kritik yang perlu dihadapi. Beberapa orang mungkin merasa bahwa perubahan tradisi yang telah berlangsung lama adalah tindakan yang tidak menghormati warisan budaya dan agama. Ada juga tantangan praktis dalam mengimplementasikan perubahan ini secara luas.

Namun, melalui dialog yang konstruktif dan pendekatan inklusif, tantangan-tantangan ini dapat diatasi. Mendengarkan semua pihak dan mencari solusi yang dapat diterima oleh berbagai kalangan.

**Kesimpulan**

Akhirnya, menurut saya, pandangan Denny JA tentang kurban Idul Adha tanpa hewan adalah kontribusi yang berani dan relevan dalam menghadapi tantangan ekologis dan etika kontemporer. 

Tafsir ini menawarkan sebuah jalan baru yang mengutamakan nilai-nilai moral dan etika, serta mempertimbangkan dampak lingkungan dan hak-hak hewan.

Pandangan Denny JA sangat relevan dalam konteks krisis lingkungan global, seperti data yang saya kutip di atas. Dengan mengurangi penyembelihan hewan, kita dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti emisi gas rumah kaca dan deforestasi.

Pandangan ini juga menunjukkan kepedulian terhadap hak-hak hewan. Esensi dari kisah Nabi Ibrahim bukanlah pada fisik hewan yang dikorbankan, tetapi pada ketakwaan dan pengabdian kepada Tuhan. 

Dengan penekanan pada ketakwaan dan pengabdian, kita dapat menghormati kehidupan hewan dan menghindari perlakuan yang kejam dan tidak perlu.

Pengorbanan hewan tidak lagi menjadi pusat cerita, melainkan nilai-nilai moral dan etika yang mendasari tindakan tersebut. Dengan fokus pada nilai-nilai ketakwaan ini, kita dapat menjalankan ritus agama dengan cara yang lebih relevan dan bermakna dalam konteks saat ini. 

Tafsir ini juga mengajak kita untuk menempatkan kebenaran dan pengabdian kepada Tuhan di atas segala-galanya, termasuk pengorbanan materil. Tafsir ini mengajak kita untuk lebih bijaksana dan peduli terhadap lingkungan dan makhluk hidup lainnya, sambil tetap menjaga nilai-nilai moral dan spiritual yang mendasari tradisi kurban itu sendiri.

Kesadaran ekologis dan hak-hak hewan adalah isu yang semakin mendesak di zaman modern ini. Pandangan Denny JA menyoroti pentingnya penyesuaian praktik-praktik ekologi dengan nilai-nilai ini, menawarkan alternatif yang tidak hanya lebih berkelanjutan tetapi juga lebih manusiawi sekaligus ekologis.

Selain itu, dengan memungkinkan bentuk kurban yang lebih bervariasi, seperti sedekah atau bantuan tunai, kita dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. 

Misalnya, dana kurban dapat digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan lainnya yang lebih mendesak, sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi yang berbeda.

Dengan pandangan progresif ini, menurut saya, Denny JA terus menegaskan dirinya sebagai pemikir agama di Indonesia yang pikiran-pikirannya jauh ke depan. 

Semoga dalam 10, paling lama 20 tahun mendatang pemikiran Denny ini bisa terwujud, tanpa harus menunggu krisis lingkungan menjadi lebih parah, kalau kita tidak melakukan apa-apa untuk perbaikan lingkungan.

Pikiran seperti yang dikatakan Denny ini, merupakan bagian dari evolusi agama yang akan mendukung sepenuhnya gerakan, yang akan mendukung dunia berkelanjutan.***

Catatan: Budhy Munawar-Rachman, Direktur Paramadina Pusat Agama dan Filsafat. Dosen Islamologi STF Driyarkara, seorang aktivis toleransi, dan pemikiran Islam progresif.

Berita Terkait