DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Ekspresi Lewat Puisi Esai: Jeritan dan Harapan Anak-anak Pekerja Migran Ilegal Asal Indonesia 

image
Jeritan dan Harapan Anak-anak Pekerja Migran Ilegal Asal Indonesia (Cosmoabc.com/Kiriman )

Pekerja migran ilegal dari Indonesia, datang ke Sabah pada tahun 1970-an. Mereka mengarungi lautan menuju tanah yang mereka anggap lebih memenuhi harapan.

Dengan tekad yang kuat, mereka meninggalkan rumah dan keluarga di Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur. Ke sana, mereka membawa mimpi untuk meraih kesejahteraan di negeri seberang.

Mengapa pergi ke Sabah? Mungkin karena dekatnya jarak geografis. Atau itu karena cerita-cerita tentang ladang kelapa sawit yang luas dan konstruksi yang menjulang tinggi. Atau daya tarik pekerjaan dengan upah yang lebih baik.

Baca Juga: Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai ke- 6: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan 

Namun, kenyataan seringkali jauh dari harapan. Banyak dari mereka yang terpaksa memilih jalur ilegal. Itu bukan karena mereka ingin. Tapi ini karena birokrasinya yang rumit dan biaya yang tak terjangkau.

Mereka datang dengan kapal-kapal kecil, menghindari tangkapan petugas. Mereka berharap menemukan tempat bekerja dan hidup dengan layak.

Di negeri yang mereka pijak dengan penuh harap itu, kenyataan berbicara lain. Mereka bekerja dalam kondisi yang keras, di bawah kejaran polisi setempat. (2)

Baca Juga: Inspirasi Politik dari Mata Air Bung Karno dan Sjahrir: Pengantar dari Denny JA untuk Buku Puisi Esai Isti Nugroho

Upah yang mereka terima seringkali jauh dari cukup. Tanpa status legal, mereka tidak memiliki perlindungan hukum.

Mereka seperti hidup sebagai bayang-bayang, tersembunyi dari pandangan. Mereka bekerja tanpa henti untuk mimpi yang kadang terasa semakin menjauh.

Kehidupan mereka dipenuhi ketidakpastian dan ketakutan. Setiap hari adalah perjuangan untuk tetap tersembunyi, untuk tidak tertangkap dan dideportasi.

Baca Juga: Ziarah untuk Wartawan yang Dibunuh dan Kisah RSJ: Pengantar Buku Puisi Esai Jonminofri soal Wartawan dari Denny JA 

Mereka tidak memiliki akses ke layanan kesehatan atau pendidikan. Anak-anak mereka tumbuh dalam ketidakpastian.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
Sumber: Kiriman

Berita Terkait