DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Untuk Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an

image
Catatan Denny JA: Untuk Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an

Sebagian dari mereka adalah nasionalis yang setia kepada Bung Karno, yang saat itu masih menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan neo-imperialisme. 

Mereka merasa dijadikan kambing hitam dalam pergolakan politik yang melibatkan perebutan kekuasaan antara Orde Baru dan Orde Lama.

Namun, kompleksitas sejarah ini tak sepenuhnya hanya soal persepsi. Ada faktor lain yang lebih mendalam. Pemerintah Indonesia, bahkan setelah reformasi, tetap kesulitan menyatukan dua kutub yang bertentangan dalam narasi politik. 

Meskipun penghapusan stigma sebagai pengkhianat negara diumumkan oleh Mahfud MD pada tahun 2023, eksil ini menuntut lebih dari sekadar rehabilitasi simbolis. 

Mereka menuntut pengakuan resmi dari pemerintah bahwa mereka adalah korban dari kebijakan represif, dan bahkan menuntut permintaan maaf atas pelanggaran hak asasi manusia yang mereka alami.

Pengalaman ini serupa dengan beberapa contoh dari sejarah dunia. Pada tahun 2008, pemerintah Australia secara resmi meminta maaf kepada suku Aborigin. 

Permintaan maaf ini, yang disampaikan oleh Perdana Menteri Kevin Rudd, secara khusus mengakui dampak kebijakan kolonial terhadap “Generasi yang Hilang”—anak-anak Aborigin yang diambil paksa dari keluarga mereka. 

Ini adalah langkah penting dalam rekonsiliasi, yang bukan hanya simbolis, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat untuk memperbaiki kesalahan sejarah.

Di Eropa, Jerman juga meminta maaf atas kejahatan kolonialnya. Pada tahun 2004, Jerman secara resmi mengakui genosida yang dilakukan terhadap suku Herero dan Nama di Namibia pada awal abad ke-20. 

Lebih dari sekadar kata-kata, pemerintah Jerman juga berkomitmen untuk mendukung pembangunan di Namibia sebagai bentuk penebusan.

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sumber: Rilis

Berita Terkait