DECEMBER 9, 2022
Nusantara

Ketika Orang Pintar Pun Jadi Jongos: Menyambut Pertunjukkan Teater The Jongos di Yogyakarta

image
Ketika Orang Pintar Pun Jadi Jongos: Menyambut Pertunjukkan Teater The Jongos di Yogyakarta (Cosmoabc.com/Kiriman)

Oleh Denny JA

COSMOABC.COM - “Di Luar Oligarki, Semua Hanyalah Korban.”

Ini kalimat pembuka dari skenario teater yang mengambil judul "The Jongos". 

Baca Juga: 4 Lukisan Karya Denny JA Artificial Intelligence: Hening Adalah Bahasa Tuhan

Membaca kalimat pembuka itu, seketika saya mengembangkan imajinasi. Oligarkhi di tanah air begitu sering dibicarakan. Naskah ini mungkin kritik sosial atas praktek oligarkhi yang ada, terhadap kondisi ekonomi dan politik yang semakin didominasi oleh segelintir orang saja.

Judul The Jongos itu juga membangkitkan dugaan. Apakah pertunjukkan teater kali ini ingin membuka mata, betapa kini orang- orang pintar, intelektual, aktivis, politisi hanya menjadi The Jongos saja, menjadi babu saja dari majikan penguasa?

Sayapun membaca cuplikan awal dialog karakter di naskah itu.

Baca Juga: Denny JA Terbitkan Buku Baru: Dengan Science, Memenangkan Pilpres 2024, Transkrip 100 Video Ekspresi Data

KOTTO:

“Ya wajar dong! Karena hanya orang berkuasa dan kaya yang berhak marah!”

BUSRIL:

Baca Juga: Inspirasi Politik dari Mata Air Bung Karno dan Sjahrir: Pengantar dari Denny JA untuk Buku Puisi Esai Isti Nugroho

“Tapi kita juga berhak tersinggung dan marah?”

KOTTO:

“Oh ya enggak, (pause) Hak kita hanya untuk dimarahi. Itulah kodrat jongos yang sejati. Paham?”

Baca Juga: Pandangan Denny JA soal Menangnya Gerakan Katakan Tidak pada Kewajiban Berjilbab di Iran

BUSRIL:

“Wah ya ndak bisa. Ndak bisa. Kita setara. Ini harus didobrak! Biar egaliter!”

KOTTO:

Baca Juga: Pandangan Denny JA soal Menangnya Gerakan Katakan Tidak pada Kewajiban Berjilbab di Iran

“Egaliter..egaliter ndas situ! (pause) He, kamu mesti ingat ajaran leluhur perjongosan. 

Sejongos-

jongosnya Jongos yang radikal, masih lebih baik jongos yang selalu siap ditindas (tertawa).”

Baca Juga: 4 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Momen Paus Fransiskus Cuci Kaki Rakyat Kecil Indonesia

-000-

Naskah The Jongos ditulis oleh Indra Tranggono. Yang menjadi sutradara Isti Nugroho. Naskah dimainkan oleh Teater Dapoer Seni Djogja. Pentas teater ini untuk tanggal 10 Agustus 2024, di Auditorium, Jurusan ISI, Jogjakarta.

Pesannya memberikan kritik tajam terhadap sistem oligarki dan ketidakadilan yang merajalela. Cerita ini berpusat pada Tuan Hakim, simbol dari sistem hukum yang korup dan tunduk pada kekuasaan oligarki. 

Baca Juga: Denny JA Bahas Kemenangan Spanyol, Statistik, dan Lahirnya Bintang Baru di Piala Eropa 2024

Pesan utamanya: di luar kelompok oligarki yang berkuasa dan kaya, semua orang hanyalah korban dari sistem yang korup dan tidak adil.

Skenario ini dimulai dengan Prof Dr Pras Jikmo yang memberikan jubah kepada Tuan Hakim. Itu simbol penyerahan kekuasaan. 

Panggung terdiri dari tiga level yang menunjukkan hierarki sosial. Tuan Hakim di level atas. Busil serta Kotto, sebagai jongos atau pelayan, di bawah. 

Baca Juga: Denny JA Beri Pesan kepada Penyair Payakumbuh agar Tak Mencampuradukkan Puisi Esai dengan SATUPENA 

Lagu "Pergi Tanpa Pesan" yang dinyanyikan oleh Busil membuka cerita. Lagu itu bersuasana muram, menggambarkan ketidakadilan yang mereka alami.

Dialog antara Busil dan Kotto mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap sistem yang ada. Mereka berbicara tentang keadilan yang tidak pernah datang dan bagaimana mereka hanya menjadi alat bagi para penguasa. 

Ketegangan meningkat ketika Tuan Hakim menunjukkan ketidakpuasannya. Hidupnya penuh tekanan dan godaan korupsi. 

Prof Dr Pras Jikmo datang menekan. Kekuasaan harus dipertahankan dengan segala cara. Tak apa, meskipun itu mengorbankan integritas. 

Klimaks cerita terjadi ketika Tuan Hakim menerima hadiah-hadiah dari oligarki. Hakim merasakan beban moral dan dosa. Itu hadiah atas keputusan-keputusannya yang tidak adil. 

Tuan Hakim akhirnya meledakkan dirinya sendiri. Itu simbol kehancuran moral yang ditimbulkan oleh sistem korup.

Busil dan Kotto mendiskusikan nasib mereka setelah kematian tuan mereka sang hakim. Apakah mereka memilih tunduk atau menolak oligarki? 

Beranikah mereka tak menjadi The Jongos bagi oligarkhi, meskipun berarti mereka harus hidup sebagai gelandangan?

Karakter-karakter dalam skenario ini, terutama Tuan Hakim, ditampilkan dengan kompleksitas moral. Terjadi pergulatan batin antara integritas dan korupsi. 

Dialog yang tajam dan lucu, juga penggunaan simbolisme memperkuat pesan moral yang disampaikan.

-000-

Teater memang telah lama digunakan sebagai medium untuk menyampaikan kritik sosial. Ia memberikan suara kepada yang tertindas, dan mengajak penonton untuk berpikir kritis tentang isu-isu masyarakat. (1)

Membaca naskah The Jongos, saya pun teringat simbolisme dari 

"The Crucible.” Naskah ini ditulis oleh Arthur Miller pada tahun 1953. Drama ini menggambarkan perburuan penyihir Salem pada abad ke-17.

Tetapi itu sebenarnya merupakan alegori untuk McCarthyism di Amerika Serikat pada 1950-an. Itu era ketika begitu banyak seniman, intelektual dan politisi yang diburu karena diduga bagian dari jaringan komunisme.

Perburuan atas para komunis (diduga) abad 20 itu mirip seperti perburuan atas penyihir (diduga) abad 17.

Miller menggunakan cerita tentang John Proctor, seorang petani yang dituduh sebagai penyihir tanpa bukti konkret. Ini untuk mengkritik paranoia yang menghancurkan kehidupan individu.

Pesan utama dari "The Crucible" adalah peringatan terhadap bahaya dari ketakutan kolektif. Ketidak adilan dapat terjadi ketika masyarakat dipenuhi kebencian plus prasangka, walau tidak berdasar.

Lalu The Jongos dan Hakim

dalam teater Indra Trenggono dan Isti Nugroho ini simbolisme dari peristiwa apakah?

Apakah hakim dalam naskah itu untuk mengeritik hakim MK yang meloloskan Gibran maju dalam Pilpres 2024? Apakah The Jongos itu sebagai kritik terhadap banyak pemikir, intelektual yang hanya menjadi babu dari majikan penguasa?

Penonton tentu dapat menjawab dan mengembangkan prasangkanya sendiri. Teater kritik sosial memang fungsinya memberi umpan bola lambung saja. Penonton sendiri yang harus melanjutkan umpan bola lambung itu. ***

Jakarta, 21 Juli 2024.

Catatan:

(1) Teater kritik sosial:

https://www.jstor.org/stable/1125047

Sumber: Kiriman

Berita Terkait