Pandangan Denny JA soal Menangnya Gerakan Katakan Tidak pada Kewajiban Berjilbab di Iran
- Penulis : Maulana
- Kamis, 11 Juli 2024 09:37 WIB
Oleh Denny JA
COSMOABC.COM - “Iman atas agama atau keyakinan atas satu pandangan hidup tidak dapat dipaksakan oleh hukum. Sikap itu tak bisa ditekan dari luar.”
“Keyakinan pada pandangan hidup seharusnya menjadi pilihan bebas yang dipilih secara sadar oleh individu yang bersangkutan. Ia harus tumbuh dalam hati individu tersebut, tidak dipaksa oleh hukum negara atau petinggi agama.”
Pernyataan kuat ini dikatakan oleh Masoud Pezeshkian saat mencalonkan diri sebagai Presiden Iran tahun 2024.
Lebih jauh lagi, Masoud mengatakan wanita di Iran harus dibebaskan dari memilih sendiri apakah ingin mengenakan jilbab atau tidak. Negara tidak dapat memaksakannya secara hukum.
Pilihan dalam sikap agama seharusnya menjadi pilihan individu dari hati masing-masing.
Pernyataan Masoud ini seketika menjadi viral dan menjadi topik hangat dalam debat calon presiden.
Masoud seketika menjadi top isu.
Sikapnya sangat berbeda dari berbagai pemimpin utama saat ini di Iran saat itu.
Isu jilbab segera menjadi isu utama dalam persaingan presiden di Iran. Ini sangat unik. Tidak pernah terjadi di belahan dunia lain, mengenakan jilbab atau tidak, wajib atau tidak, menjadi isu utama dalam perjuangan calon presiden.
Pemilu presiden Iran juga sedang berlangsung. Hasilnya: presiden terpilih yang memenangkan pemilu adalah Masoud Pezeshkian.
-000-
Mengapa isu jilbab menjadi besar sekali di Iran bahkan masuk dalam isu teratas panggung utama pemilihan presiden?
Gerakan panjang yang sudah lama terjadi di Iran menentang hukum wajib mengenakan jilbab bagi semua perempuan. Hukum wajib ini diterapkan sejak Revolusi Iran tahun 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini.
Ini revolusi yang mengubah Iran dari negara sekuler menjadi negara Islam. Maka diwajibkan pula semua wanita di tempat umum harus mengenakan jilbab. Yang tidak mengenakan jilbab akan terkena sanksi hukum.
Sejak tahun 1979, telah terjadi berbagai aksi protes dari berbagai aktivis perempuan. Aksi protes itu terjadi secara sporadis.
Namun ada dua gerakan besar yang menentang kewajiban mengenakan jilbab di tempat umum.
Yang pertama adalah gerakan tahun 2017 yang terkenal dengan julukan "Girls of Enghelab Street". Pada tahun 2017 itu, sekelompok wanita berprotes di jalan Enghelab.
Salah satu tokoh di sana bernama Vida Movahed. Ia secara demonstratif naik ke tempat tinggi. Ia berdiri dan melepas jilbabnya di depan umum.
Jilbabnya diletakkan di tongkat, ia angkat tongkat ke atas, dan ia putar-putar. Lalu mengatakan bahwa kaum perempuan harus menentukan sendiri cara berpakaiannya.
“Negara tidak boleh mengatur cara kita berpakaian. Yang penting pakaian kita sopan. Apakah kita memakai jilbab atau tidak, sepenuhnya hak kita.”
Gerakan dengan tokoh utama Vida ini meluas menjadi percakapan publik. Foto Vida melepas jilbab dan meletakkannya di atas tongkat menjadi foto yang ikonik.
Ia menjadi simbol keberanian perempuan Iran yang menolak Negara dan Otoritas Agama terlalu jauh mendominasi dunia perempuan.
Lalu muncul kembali gerakan dan protes paling panjang, paling besar, dan paling lama dari gerakan perempuan di Iran yang menentang kewajiban mengenakan jilbab. Ini berlangsung pada tahun 2022 hingga 2023.
Ini adalah gerakan yang usianya hampir satu tahun, disebut "gerakan kesadaran". Protes ini meluas akibat wafatnya Mahsa Amini.
Amini seorang wanita yang tidak mengenakan jilbab. Akibatnya, ia ditangkap oleh polisi agama dan dipenjara. Di dalam penjara, ia tetap menunjukkan perlawanannya.
Amini mengatakan bahwa ia punya hak untuk mengenakan jilbab atau tidak. Lalu terdengar sayup-sayup dari luar. Mahsa Amini disiksa dan berakhir pada kematiannya.
Segera ini menjadi berita besar di Iran. Ini sudah dianggap melampaui batas: ada seorang wanita mati di penjara karena menolak mengenakan jilbab.
Gerakan meluas karena kondisi di bawah permukaan sudah membara. Berita ini dicatat oleh The New York Times dan juga oleh Iran Human Rights.
Mereka mencatat sebanyak 476 orang tewas karena gerakan ini. Begitu banyak yang memberontak atas aturan ini, namun polisi begitu keras menekannya.
Gerakan ini melambat tetapi tidak pernah selesai. Perlawanan juga terjadi di media sosial. Banyak wanita menyatakan di Facebook tentang "Say No" pada kewajiban mengenakan jilbab.
Inilah kondisi sosial yang tumbuh di Iran. Ketika calon presiden Masoud Pezeshkian secara terbuka menyatakan ia mendukung hak perempuan untuk menentukan sendiri mengenakan jilbab atau tidak, seketika pernyataan ini bergaung.
Ini pula yang ikut menyebabkannya terpilih. Isu yang mendukung perempuan untuk memilih sendiri, cara berpakaiannya, membantu kemenangan Masoud Pezeshkian, calon presiden dari kalangan reformis.
Namun, ini tidak hanya di Iran. Di Arab Saudi, di bawah pimpinan Muhammad bin Salman, juga sudah tak lagi mewajibkan jilbab bagi perempuan. Sepenuhnya diserahkan kepada wanita Arab Saudi untuk mengenakan jilbab atau tidak.
Kita menjadi saksi sejarah betapa di negara-negara Islam sendiri, di pusatnya, bahkan di Arab Saudi, tempat kelahiran Islam, dan di Iran, negara Islam mayoritas Syiah, terjadi perubahan sikap atas isu agama.
Di Arab Saudi, itu sudah selesai dalam kebijakan resmi. Negara dan otoritas agama tidak lagi mewajibkan jilbab di depan umum. Itu sepenuhnya diserahkan kepada pilihan bebas setiap wanita.
Namun yang jauh lebih mendasar adalah apa yang dikatakan oleh presiden terpilih dari Iran. Pandangan hidup, iman atas agama, tak bisa dipaksa oleh hukum.
Sains mendukung ini. Aneka peristiwa sosial yang mendukungnya.
Agama justru menjadi indah jika ia adalah pilihan sadar dan bebas dari hati setiap individu, bukan paksaan dari otoritas agama, ataupun paksaan hukum negara.***
Transkrip Orasi Denny JA dari YouTube: https://youtu.be/SYsTNWL8IBc?si=95M_2i5P51jKvCIs