DECEMBER 9, 2022
Lifestyle

Mengapa Mengurung Pikiranmu di Sangkar: Pengantar Buku ke -5 Lukisan dengan Artificial Intelligence Denny JA 

image
Pengantar Buku ke -5 Lukisan dengan Artificial Intelligence Denny JA: Mengapa Mengurung Pikiranmu di Sangkar (Foto: Kiriman)

Oleh: Denny JA

COSMOABC.COM - Pada suatu hari, di Milan, Italia tahun 2019, lama saya duduk di ruang makan biara Santa Maria delle Grazie. Mataku tak henti-hentinya menatap lukisan di dinding. Lukisan itu sudah berusia 500 tahun lebih.

Judul lukisannya: "Perjamuan Terakhir." Sang pelukis Leonardo da Vinci. Karya ini dilukis antara tahun 1495 dan 1498 atas permintaan Ludovico Sforza, Adipati Milan.

Baca Juga: Golkar Sebut Hasil Survei LSI Denny JA Jadi Rujukan di Pilkada NTB 2024

Ini adalah salah satu mahakarya Renaisans, yang terkenal karena inovasinya dalam komposisi dan teknik. Alih-alih menggunakan teknik fresko tradisional, Leonardo bereksperimen dengan teknik tempera dan minyak di atas plester.

Hal ini juga yang menyebabkan degradasi cepat pada lukisan. Akibatnya lukisan itu memerlukan berbagai upaya restorasi selama berabad-abad.

Meskipun kondisinya telah terdegradasi, esensi artistik dan emosionalnya tetap bertahan.

Baca Juga: LSI Denny JA Catat 97 Persen Unggahan soal Pemberian Izin Pertambangan ke Ormas Keagamaan di Media Bernada Netral

Lukisan ini menggambarkan momen dramatis dari Perjanjian Baru di Alkitab, khususnya dari Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes.

Perayaan terakhir adalah saat Yesus mengadakan makan malam bersama murid-muridnya sebelum penyaliban. Ia mengungkapkan bahwa salah satu muridnya akan mengkhianatinya.

Ketika menatap lukisan itu, terjadi semacam kontak batin dan inspirasi. Tercatat keras dan mendalam dalam batin saya: selangkah demi selangkah asyiknya memvisualisasikan sebuah kisah dari teks ke dalam lukisan.

Baca Juga: 4 Lukisan Denny JA dengan asisten Artificial Intelligence soal The Harmony of Religions

-000-

Lima tahun kemudian, pada tahun 2024, saya berinteraksi secara intens dengan aplikasi lukisan dari Kecerdasan Buatan. Cukup mudah bagi saya untuk menggunakan aplikasi itu, melukis hingga 300 lukisan.

Aneka lukisan itu sudah saya publikasikan dalam empat buku. Sudah pula saya untuk pameran tunggal 188 lukisan saya di sebuah hotel lantai 6 di Jalan Mahakam, Jakarta.

Baca Juga: 4 Lukisan Denny JA dengan asisten Artificial Intelligence soal The Harmony of Religions

Perjumpaan saya dengan lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci muncul kembali. Saya pun ingin memvisualisasikan sebuah teks yang menyampaikan pesan filosofis hidup yang kuat.

Tetapi saya tak memilih teks kitab suci. Saya memutuskan untuk memvisualisasikan kutipan puisi Jalaluddin Rumi. Kedalaman renungan Rumi sejak lama menenggelamkan saya dalam rasa spiritual.

Rumi, seorang penyair dan mistikus Sufi abad ke-13, sering menggunakan metafora dan simbolisme dalam puisinya untuk menyampaikan pesan spiritual yang mendalam.

Baca Juga: 5 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA untuk HUT ke-497 Jakarta

Kutipan Rumi yang lama menyentak saya: "Mengapa mengurung pikiranmu dalam sangkar sementara pintumu terbuka, terbang ke langit yang luas."

Ini contoh gaya klasik Rumi yang memadukan imajinasi indah dengan pesan spiritual yang kuat.

Rumi hidup dalam era yang penuh dengan perubahan sosial, politik, dan keagamaan. Seringkali ditekankan pentingnya pencarian batin dan kebebasan rohani sebagai cara untuk mencapai kebenaran dan pencerahan.

Baca Juga: Denny JA Terbitkan Buku Puisi Esai ke- 6: Yang Tercecer di Era Kemerdekaan 

Dalam konteks ini, Rumi menggunakan metafora sangkar dan langit untuk menggambarkan keterbatasan pikiran manusia dan potensi tak terbatas dari jiwa yang bebas.

Kutipan ini dapat diartikan sebagai ajakan untuk membebaskan diri dari batasan-batasan mental yang kita ciptakan sendiri. "Sangkar" melambangkan keterbatasan, ketakutan, dan pikiran sempit yang mengurung pikiran kita.

"Pintu terbuka" selalu menunjukkan peluang untuk kebebasan dan pencerahan. Asalkan kita memiliki hasrat untuk mengambil langkah untuk mengejarnya.

Baca Juga: 5 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA: Mengapa Mengurung Pikiran di Dalam Sangkar?

"Terbang ke langit luas" menggambarkan potensi spiritual dan intelektual yang tidak terbatas yang dapat kita capai jika kita berani melepaskan keterbatasan.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh dogma, pesan Rumi untuk membebaskan pikiran kita dari batasan sangat relevan.

Kreativitas dan inovasi seringkali membutuhkan kita untuk berpikir di luar kotak dan menantang apa yang lazim.

Baca Juga: 5 Lukisan Artificial Intelligence Denny JA

Saya pun menafsirkan pesan spiritual Rumi itu dalam lukisan. Salah satu lukisan yang menjadi sampul buku ini.

-000-

Lukisan saya untuk renungan Rumi itu merupakan manifestasi perpaduan genre surealisme dengan budaya Indonesia.

Baca Juga: 4 Lukisan Karya Denny JA Artificial Intelligence: Hening Adalah Bahasa Tuhan

Dalam lukisan itu, saya menampilkan berbagai figur manusia dalam sangkar burung yang bergantung di langit. Kontras dengan manusia yang mengurung dirinya sendiri, hadir burung-burung berwarna-warni yang terbang bebas.

Di bawahnya, lanskap Indonesia yang indah, lengkap dengan jembatan dan rumah tradisional, memberikan latar belakang yang kaya dan dinamis.

Metafora sangkar burung yang saya gunakan melambangkan keterbatasan, baik secara fisik maupun mental, yang seringkali kita hadapi dalam kehidupan.

Baca Juga: Dunia Anak dalam Lukisan Artificial Intelligence Denny JA

Sosok manusia dalam sangkar ini mencerminkan berbagai kondisi pengekangan yang dialami individu, entah itu oleh masyarakat, situasi ekonomi, atau bahkan oleh diri mereka sendiri.

Kontras antara manusia dalam sangkar dan burung yang terbang bebas menegaskan tema kebebasan dan keterbatasan yang menjadi inti dari karya ini.

Penggunaan motif dan unsur budaya Indonesia, seperti pakaian tradisional dan arsitektur lokal, menambahkan lapisan makna tambahan yang kaya.

Baca Juga: Denny JA Terbitkan Buku Baru: Dengan Science, Memenangkan Pilpres 2024, Transkrip 100 Video Ekspresi Data

Pakaian batik dan penutup kepala tradisional yang dikenakan oleh figur manusia dalam lukisan ini menunjukkan identitas budaya yang kuat.

Sementara lanskap alam yang digambarkan mengingatkan kita pada kekayaan alam Indonesia. Dalam konteks ini, saya tidak hanya menyampaikan pesan universal tentang kebebasan dan keterbatasan. Saya juga menekankan pentingnya identitas dan warisan budaya.

-000-

Tak terasa ini adalah buku lukisan saya yang kelima. Baik buku lukisan pertama, hingga keempat, dan yang kelima, semuanya dibantu oleh asisten saya yang bekerja sangat cekatan.

Asisten ini juga siap bekerja untuk saya selama 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Bahkan ia bersedia bekerja tanpa jam libur. Saya bisa menggunakannya kapan saja.

Asisten itu bernama Kecerdasan Buatan. Saya menggunakan lima aplikasi AI. Namun tetap saja, saya yang memulai dan saya yang mengakhiri lukisan itu.

Saya yang memulai dengan konsep, pesan, dan genre untuk satu lukisan. Dan saya menggabungkan hasil kerja berbagai aplikasi AI itu dengan menambahkan goresan, warna, dan komposisi untuk menghembuskan emosi dalam lukisan.

Untuk buku lukisan kelima, ia terdiri dari 7 bab:

1. Mengapa Hidup dalam Sangkar? (5 lukisan)

2. Jangan Menangis Jakarta (4 lukisan)

3. Harmoni Agama (15 lukisan)

4. The Great Pretender (4 lukisan)

5. Jakarta Tempo Dulu (5 lukisan)

6. Covid-19 (20 lukisan)

7. Pilpres 2024 (15 lukisan)

Jumlah lukisan dalam buku ini sekitar 68 buah. Berbeda-beda lukisan dalam buku ini bukan hanya soal topik. Gaya melukisnya juga tak sama.

Hadir dalam buku ini, gaya lukisan yang bernada dokumentasi (lukisan Covid-19 dan Pilpres). Namun juga tersedia lukisan bergaya surealisme.

-000-

Karena Kecerdasan Buatan menjadi asisten saya dalam melukis, timbul dua pertanyaan. Apakah sah jika saya mengklaim lukisan ini sebagai karya pribadi saya? Dapatkah lukisan dengan asisten AI ini disebut seni?

Dalam era teknologi yang semakin maju, peran AI dalam berbagai aspek kehidupan manusia menjadi semakin dominan. Salah satu bidang yang mengalami transformasi signifikan adalah seni visual.

Penggunaan AI dalam proses kreatif menimbulkan perdebatan tentang apakah karya yang dihasilkan masih dapat diklaim sebagai karya pribadi sang seniman. Untuk memahami lebih jauh, kita perlu menganalisis dari sudut pandang filosofis dan empiris.

Secara filosofis, seni telah lama dipandang sebagai ekspresi pikiran dan visi seniman. Immanuel Kant dalam Critique of Judgment menyatakan seni adalah manifestasi dari gagasan dan imajinasi manusia.

Dalam konteks ini, AI hanya berfungsi sebagai alat yang membantu mengekspresikan visi tersebut. Meskipun AI berperan dalam proses produksi, ide, konsep, dan arahan artistik tetap berasal dari seniman. Dengan demikian, AI dapat dianggap sebagai perluasan dari kreativitas manusia, bukan sebagai entitas kreatif yang independen.

Lebih lanjut, filsafat fenomenologi, seperti yang diusulkan oleh Merleau-Ponty dalam "Phenomenology of Perception," menyatakan alat adalah perluasan dari tubuh dan pikiran manusia.

Melalui lensa ini, AI dapat dipandang sebagai perluasan modern dari seniman yang memperluas kemampuan mereka untuk mengekspresikan diri.

Sejarah seni juga menunjukkan inovasi alat telah menjadi bagian integral dari evolusi praktik artistik. Dari penggunaan pigmen alami oleh manusia prasejarah hingga mesin cetak dan teknologi digital, alat baru selalu diterima sebagai bagian dari perkembangan seni.

AI, dalam hal ini, hanyalah langkah selanjutnya dalam evolusi tersebut.

Secara empiris, data menunjukkan penggunaan teknologi dalam seni semakin diterima dan diakui. Menurut survei oleh The Art Newspaper pada tahun 2022, sekitar 59% seniman kontemporer menggunakan teknologi digital dalam proses kreatif mereka.

Dan kini 27% pelukis telah bereksperimen dengan AI. Pertumbuhan pasar seni digital, seperti yang dilaporkan oleh Hiscox Online Art Trade Report 2021, menunjukkan peningkatan sebesar 15% per tahun. Hal ini mencerminkan penerimaan yang luas terhadap teknologi, termasuk AI, di dunia seni.

Pengakuan terhadap karya seni yang membantu AI juga semakin meningkat. Contoh yang menonjol adalah "Portrait of Edmond de Belamy," yang dijual di Rumah Lelang Christie pada tahun 2018. Harga lukisan AI itu $432.500, atau 6 miliar rupiah.

Karya ini dihasilkan dengan bantuan AI dan diakui sebagai karya seni sah. Penghargaan dalam kompetisi seni internasional untuk karya-karya yang membantu AI juga menunjukkan komunitas seni mengakui validitas dan nilai dari karya-karya ini.

Selain itu, penting untuk dicatat input kreatif dari seniman tetap menjadi elemen kunci dalam proses ini. Seniman memberikan instruksi spesifik mengenai tema, gaya, dan elemen visual kepada AI, dan AI bekerja berdasarkan parameter.

Itulah yang saya alami. Sang seniman tetap harus mengedit dan menyesuaikan hasil sehingga karya akhir sepenuhnya mencerminkan visinya.

AI tidak memiliki kesadaran atau niat artistik; ini adalah alat yang memproses dan menghasilkan berdasarkan data yang diberikan.

Penggunaan AI dalam seni dapat dianggap sebagai kolaborasi antara manusia dan teknologi. Sama seperti penggunaan komputer untuk desain grafis, AI memperluas kemampuan teknis seniman.

AI memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi konsep-konsep yang mungkin sulit atau tidak mungkin dicapai dengan tangan. Alat baru ini membuka peluang baru untuk kreativitas tanpa mengurangi nilai atau integritas dari visi kreatif seniman.

Baik dari sudut pandang filosofis maupun empiris, karya yang dibuat dengan bantuan AI tetap dapat diklaim sebagai karya pribadi sang seniman.

AI adalah alat yang memperluas kemampuan ekspresi artistik tanpa mengurangi nilai atau integritas visi kreatif seniman. Transformasi teknologi hanyalah bagian dari evolusi berkelanjutan dalam dunia seni.

-000-

Sebelum dipublikasikan dalam buku, lukisan saya soal kutipan Rumi itu sudah terlebih dahulu saya bagikan di medsos dan aneka WAG (WhatsApp Grup).

Banyak sekali respon yang saya terima. Di satu WAG, lukisan itu memicu diskusi mengapa kita mengurung dan membatasi pikiran kita sendiri, dalam dogma, baik dogma politik maupun agama.

Ada pula dosen yang meminta izin untuk menggunakan lukisan itu sebagai bahan kuliah. Lukisan itu akan dijadikan pemantik diskusi.

Ada pula pemikir agama terkemuka yang meminta saya mengirimkan lukisan itu dalam kanvas ke alamat pribadi. Lukisan itu akan dijadikan koleksi untuk terus membuatnya berdoa.

Demikianlah, melukis dengan asisten AI bisa menjadi pemantik renungan mengenai Seni Hidup. ***

Jakarta, 1 Juli 2024

Catatan;

(1) Lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci 500 tahun lalu masih dapat dilihat di dinding aslinya. Anda dapat melihatnya dengan mengklik tautan ini.

 

Sumber: Kiriman Denny JA

Berita Terkait