RUU Pilkada, Putusan MK, Kompetisi Politik, dan 3 Berkah Proklamasi
- Penulis : Maulana
- Minggu, 25 Agustus 2024 10:06 WIB

Dalam sejarah Indonesia, civil society beberapa kali memainkan peran signifikan, seperti dalam peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, tumbangnya Orde Lama 1966, dan tumbangnya Orde Baru 1998.
Dinamika ini menyadarkan kita bahwa negara Indonesia ternyata memiliki batas ambang toleransi. Jika ambang batas itu terlewati, tanpa dikomando, civil society bergerak.
Mereka yang terbiasa dengan politik praktis, dan memiliki kesadaran minimal soal politik akan bisa merasakan. Ada unsur spontan, kesedihan, keberanian, kemarahan, pengorbanan dari gerakan civil society jika yang mereka jaga adalah kewarasan dalam politik.
Baca Juga: Media Asing Soroti Demo Kawal Putusan MK soal Pilkada 2024: Jadi Kemunduran Warisan Dinasti Jokowi
Berkah politik ketiga: kembali lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan civil society menuju harmoni yang baru, senada, satu kata, satu sikap.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah diberitakan akan melakukan RUU Pilkada, yang mengembalikan apa yang sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi. Yaitu syarat mencalonkan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPR dan 25 persen suara.
Jika RUU Pilkada itu jadi disahkan, akan lahir preseden ganjil dalam proses demokrasi. Yakni norma baru yang diciptakan Mahkamah Konstitusi, hasil dari *judicial activism*-nya, yang dalam kasus ini mengatur syarat persentase baru calon sah Pilkada 6,5 persen - 10 persen, bisa dibatalkan oleh UU baru DPR dan Pemerintah.
Baca Juga: Presiden Tegaskan Tidak Akan Terbitkan Perppu Pilkada
Akan muncul kesan tafsir konstitusi dari MK dikalahkan oleh DPR dan pemerintah. Niscaya ini akan menjadi benih krisis kelembagaan dan *distrust* jangka panjang kepada lembaga negara.
Tapi kini, partai politik, DPR, lembaga presiden, membatalkan RUU Pilkada itu, dan berselancar dengan civil society, menghormati dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Tiga berkah proklamasi ini justru menjadi penutup yang baik dari pemerintahan Jokowi. Dan juga awal yang baik dari pemerintahan Prabowo.
Dinamika politik bulan Agustus ini meninggalkan berkah, pesan yang mendalam. Ternyata hadir kesadaran kolektif, invisible hand, tangan yang tak terlihat, yang menjaga ambang batas demokrasi.