Kisah Janda Penghuni Gubuk di Hutan Sulawesi yang Penuh Haru
- Penulis : Maulana
- Jumat, 12 Juli 2024 08:42 WIB
COSMOABC.COM - Kisah janda penghuni gubuk di hutan Sulawesi yang penuh haru akan dibahas Cosmoabc.com di artikel ini.
Mengutip dari ANTARA, ada seorang perempuan paruh baya yang bernama Marni (43), warga Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini.
Sang janda itu berjalan menapaki tebing perbukitan terjal dengan raut wajahnya murung penuh kebingungan. Ia sambil menenteng berkas yang dibungkus kantong plastik.
Baca Juga: Paula Hurd, Janda CEO Kaya yang Menjadi Pacar Bill Gates
Kepalanya terus mendongak menatap langit seolah sudah hapal pada tanah basah berbatu yang menjadi tumpuan kaki dengan sandal jepit yang nyaris putus itu.
Warga setempat memanggilnya dengan sapaan Amma Mar. Siang itu, dia baru saja bertandang memenuhi panggilan kepala desa di kantornya.
Setelah sekitar 20 menit berjalan hingga dahi berkeringat, tibalah ia pada sebuah gubuk kayu tambal sulam beratap daun rumbia yang berada tepat di punggung bukit berkemiringan lebih kurang 50 derajat.
Baca Juga: MBOK DARMI SAKIT STROKE DAN TINGGAL SENDIRI DI GUBUK REYOT, YUK KITA BANTU
Gubuk yang tertambat pada pohon kelapa dan dikelilingi rimbun pohon Kakao muda tersebut ternyata adalah rumah bagi sang Amma -- Ibu dalam bahasa Mandar -- ini.
“Ya, di sinilah rumah saya, tempat berlindung yang kami punya,” kata Marni.
Tanpa canggung perempuan berkerudung ini mengaku setelah ditinggal pergi suami dan resmi bercerai dua setengah tahun lalu, ia tak punya pilihan lain selain pulang ke kampungnya meski harus tinggal di gubuk dekat hutan yang jauh dari pemukiman warga desa setempat.
Baca Juga: Seorang anggota Polsek Binuang, Sulawesi Selatan ditangkap dengan membawa 2 kg sabu dibungkus teh
Sebelumnya dia tinggal ikut suami menempati rumah sederhana belasan tahun silam di Desa Bambaloka, Kecamatan Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Setelah resmi bercerai sempat ia mencoba bertahan menjadi buruh harian di Baras, tapi bayang romantisme masa lalu yang kandas selalu menghantui batinnya.
Hingga pada awal Agustus 2021, Marni membulatkan tekad membawa Abdul, Mira, dan Fadly -- nama ketiga anaknya-- pulang ke Batetangnga. Dengan ongkos seadanya mereka mesti estafet naik turun kendaraan untuk tiba di Binuang dengan beberapa kardus berisi pakaian.
Butuh waktu 10-12 jam melintasi Jalan Poros Majene-Mamuju dan beberapa kali naik turun mobil, kemudian harus dilanjutkan menumpang ojek motor ke kampungnya di ujung perbukitan Desa Batetangnga.
Baca Juga: Bank Indonesia Perwakilan dari Sulawesi selatan jadikan Bengok Kraft untuk contoh produk ekspor UMKM
Saat itu pula kehidupan anak-anak Marni berubah drastis. Jangankan bersekolah, untuk waktu tidur nyenyak di rumah yang layak dan bermain seperti anak-anak pada umumnya pun mereka tak punya.
Putra sulungnya, Abdul (14), mesti bekerja di sebuah peternakan ayam untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam satu bulan mendapatkan upah Rp500 ribu.
Begitupun Mira Wati (12) yang mesti membantu kerja apa saja mulai dari menjual cabai sisa panen di ladang saudaranya hingga membantu petik dan semai biji Kakao dengan upah Rp200 ribu – Rp300 ribu per bulan.
Hanya di gubuk berukuran 2x3 meter itulah mereka berlindung, melepas penat setelah bekerja seharian. Badan mereka mesti disusun sedemikian rupa demi mencukupkan ruang antara alas tidur, perabotan dapur, dan tumpukan pakaian supaya semua bisa beristirahat.
Meski sudah dibuat se-nyaman mungkin, tapi mereka tak mampu menghindar dari dinginnya malam. Atap anyaman daun yang mengering dan pintu berlapis kain itu sudah semakin tak kuasa menahan guyuran hujan berikut hembusan angin perbukitan.
Marni mengatakan bahwa kondisi ini yang membuat putra bungsunya, Fadly, hampir setiap malam selalu merengek minta dipeluk untuk menghangatkan tubuhnya. Dalam renungan malam ia kerap menangis melihat kenyataan yang melanda sang buah hati.
Waktu berlalu hingga tak terasa nyaris tiga tahun sudah Marni dan anak-anaknya menghadapi hidup penuh kenestapaan, menghuni gubuk yang selalu basah saat hujan dengan sabar tak terhingga.
Tapi ada satu hal yang dapat dipetik dari kisah singkat keluarga ini. Meski menjadi orang tua tunggal tapi Marni tidak pernah sekalipun mengemis meminta kepedulian dari saudara atau warga lainnya untuk meringankan beban mereka.
“Sudah dikasih kesempatan bermukim dekat dengan saudara saya di sini, ya, sudah lebih dari cukup bagi saya,” tutup dia.***