DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Obsesi Menjadi Sempurna 

image
Catatan Denny JA: Obsesi Menjadi Sempurna 

Setiap napas aktor dan tatapan penonton bersatu, menciptakan keajaiban yang hanya terjadi sekali.

Memang tetap bisa diberikan kritik pada teater ini. Meski memukau secara visual, musikal ini kadang terlalu terpaku pada glamor permukaan, mengorbankan kedalaman emosional karakter. 

Transformasi Andrea terasa tergesa-gesa, sementara Miranda kehilangan kompleksitas psikologisnya. 

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Salman Berjumpa Tunawisma di London 

Pesan moralnya kuat, namun keindahan panggung terkadang menyelubungi cerita yang seharusnya menggugah jiwa lebih dalam.

Namun di teater itu, sosok Miranda mewakili obsesi menjadi sempurna, permata yang tersembunyi dalam kegelapan. Untuk menemukannya, kita kadang harus rela kehilangan cahaya yang kita genggam.

Kita teringat Alfred Adler soal inferiority Complex. Menurutnya, perfeksionisme justru sering muncul dari inferiority complex, rasa kurang berharga yang mendorong seseorang untuk membuktikan dirinya. (1)

Namun, obsesi terhadap kesempurnaan dapat mengorbankan keseimbangan hidup. Perfeksionis berisiko menghadapi kecemasan tinggi, kelelahan emosional, dan alienasi dari hubungan yang bermakna.

Ini harga mahal demi ilusi kontrol absolut itu.

“Kesempurnaan adalah api yang tak pernah padam. Ia memberi cahaya, tetapi perlahan membakar, hingga yang tersisa hanya abu dari kehidupan yang seharusnya dinikmati.”***

London, 9 Januari 2025

Halaman:
1
2
3
4
5
6
7

Berita Terkait