DECEMBER 9, 2022

Renungan Idul Adha: Akankah Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?

image
Foto: Kiriman/Cosmoabc.com

Oleh Denny JA* COSMOABC.COM – Lima puluh tahun dari sekarang, di tahun 2070, akankah hewan semakin jarang dijadikan kurban dari ritus agama? Akankah tumbuh kesadaran yang semakin besar, di kalangan cendekia Islam sendiri, yang memilih tafsir untuk tidak menjadikan “sembelih hewan,” sebagai bagian dari ritual Idul Adha? Itulah renungan yang muncul ketika membaca sebuah makalah (sebuah esai) di tahun 2008. Judulnya: Perspektif Islam Melawan Pengorbanan Hewan. (Perspektif Islam yang menentang kurban hewan). Penulisnya, Shahid Ali Mutaqqi. Ini pandangan yang provokatif, namun tepat waktu, memberikan pendapat alternatif mengenai kurban hewan. (1) Bagaimana masuk akal? Kuatkah dalil Shahid Ali Mutaqqi? -000- Sebelumnya, kita paparkan dulu aneka ulasan mengenai kurban hewan dalam rangka ritual Idul Adha. Ada tiga perspektif. Pertama, perspektif yang mainstream. Ini perspektif yang sudah menjadi “kebijaksanaan konvensional,” sejak dulu hingga sekarang. Prinsip ini dipegang teguh oleh MUI di Indonesia. Perspektif ini mengatakan kurban hewan itu sentral dan menyatu dengan Idul Adha. Ia bagian dari kisah Nabi Ibrahim sendiri yang waktu itu mendapatkan satu pandangan untuk membuktikan kesetiaannya kepada Tuhan. Bahkan Nabi Ibrahim diuji untuk menanggung anaknya dalam rangka cintanya kepada Tuhan. Soal anak ini kemudian diganti dengan hewan. Dalam narasi di atas, hewan itu sentral sebagai bagian dari cerita Nabi Ibrahim dan ritus Idul Adha. Dalam pandangan MUI, tidak ada kompromi. Hewan adalah kurban dalam ritus Idul Adha tak bisa diganti, apapun preferensinya. Tak ada diskusi. Berhenti. Ikuti saja. (2) Pandangan kedua dari Muhammadiyah. Lembaga ini lebih kompromis dibandingkan MUI. Muhammadiyah mengatakan untuk kasus tertentu saja, kurban hewan bisa diganti dengan mengucapkan sedekah. Dan itu sudah terjadi, dan pernah diumumkan secara resmi oleh pimpinan Muhammadiyah sendiri. Di era COVID di tahun 2020, PP Muhammadiyah menyarankan untuk tahun itu kurban hewan bisa diganti sedekah. (3) Saat itu, sulit bagi kita untuk berkumpul. Wabah COVID-19 masih di mana-mana. Jauh lebih aman jika kita tidak berkumpul. Kurban hewan pun saat itu bisa digantikan oleh sedekah, oleh dana tunai, misalnya. Sementara bagi MUI, bahkan di era COVID pun, tak ada ceritanya, tak boleh itu. Hewan tetap saja tak bisa digantikan oleh non-hewan dalam rangka kurban Idul Adha. Ketiga, perspektif yang diwakili oleh Shahid Ali Mutaqqi. Ia memulai dengan memberikan tafsir yang berbeda atas ayat Quran. Menurutnya, yang dipentingkan dalam kurban dan kisah Nabi Ibrahim itu bukan fisik hewannya. Yang esensial dari ayat Quran itu adalah ekspresi ketakwaan manusia. Manusia bahkan harus mengalahkan kecintaan kepada anak kandungnya sendiri. Secara filosofis, Tuhan digambarkan sebagai pusat kebenaran. Kisah Ibrahim bercerita tentang dedikasi orang yang saleh kepada kebenaran itu, mengalahkan bahkan cinta kepada anak kandungnya. Memperingati Idul Adha, kami memperingati komitmen untuk lebih mencintai kebenaran daripada kepada yang lainnya. Dalam narasi ini, kurban hewan tidak esensial. Ia bisa ditafsir ulang. Kita bisa untuk tidak lagi menjadikan hewan secara massal sebagai kurban ritus agama. Per hari ini tentu saja pandangan dari Shahid Ali Mutaqqi ini opini yang minor. Ia hanya melihat alternatif saja. Bahkan mungkin oleh sebagian orang dianggap sebagai pandangan yang nyeleneh. -000- Namun ada berbagai kondisi yang pelan-pelan membuat pandangan Shahid Ali Mutaqqi mendapat dukungan yang menguat dan menguat lagi. Konteks sosial zaman baru, zaman yang berubah, akan lebih menguatkah semangat tak lagi ingin hewan dijadikan kurban ritus agama? Tiga hal yang bisa membuat pandangan dari Shahid Ali Mutaqqi ini menguat dan potensi lebih banyak lagi yang mendukung tafsir ini. Pertama adalah kesepakatan pada filsafat dari tafsir itu. Mereka sepakat memahami bahwa kisah Nabi Ibrahim itu lebih kuat pada ajaran moralnya. Bahwa inilah kisah bagaimana seorang insan manusia, seorang nabi akhirnya memilih lebih banyak cinta pada Tuhan, lebih banyak cinta pada kebenaran daripada cinta bahkan kepada anak kandungnya sendiri. Kisah hewan sebagai kurban bukan pesan utama. Filosofi ini sangat dalam. Menyentuh. Prinsip moralnya melampaui sekedar kisah kurban hewan belaka. Kedua: keberagaman dimensi sosial yang lebih terlayani, jika kurban itu tidak harus hewan. Kurban juga bisa dalam bentuk derma, dana tunai, dan sebagainya. Pada segmen masyarakat yang membutuhkan daging hewan, mereka tetap bisa terlayani. Namun di segmen yang lebih membutuhkan dana untuk pendidikan, mereka juga bisa diakomodasi. Di segmen yang lebih memerlukan fasilitas kesehatan, itu pun bisa diberikan. Jika kurbannya berupa dana, maka kurban ini bisa disalurkan lebih bervariasi. Kurban dapat disebarkan sesuai kebutuhan dari masing-masing segmen yang akan dibantu. Ketiga: lahirnya era kesadaran yang lebih kuat tentang lingkungan hidup dan hak-hak hewan. Muncul banyak gerakan dan masyarakat sipil tentang pentingnya hewan untuk lebih dilindungi. Era dimana kedekatan manusia dengan hewan itu semakin kuat dan dalam dibandingkan babak sejarah sebelumnya. Data menunjukkan di Amerika Serikat juga di Eropa, lebih dari 50% rumah tangga sekarang memelihara hewan. Tak hanya anjing, tapi juga kucing. Dan semakin banyak pula penelitian yang menunjukkan bahwa hewan pun memiliki kesadaran. Kecerdasan buatan memang cerdas, tapi ia hanya punya kecerdasan. Kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran. Tapi apa kesadaran itu? Kesadaran adalah subyek yang bisa menderita. Jika dia bisa menderita, berarti dia punya kesadaran. Ia bisa senang, ia bisa sedih. Itu ditunjukkan oleh hewan seperti anjing dan kucing. Mereka bisa menampilkan ekspresi sedih, bingung, menangis, dan gembira. Banyak di antara kita yang mungkin menonton film Hachiko (2009). Film ini diperankan oleh Richard Gere. Itu kisah nyata, bagaimana seekor anjing bertahun-tahun menunggu di stasiun, menunggu helikopter pulang, dan turun dari kereta. Suatu saat ketika kelaparan meninggal di tempat lain. Anjing itu tidak tahu. Namun ia tetap menunggu dengan setia di stasiun kepulangan bertingkat, bertahun-tahun. Anjing itu tetap menunggu sampai ia mati sendiri. Itu peristiwa yang heboh. Hachiko pun membuatkan patungnya di sebuah stasiun. Patung tersebut simbol kesetiaan seekor anjing kepada kupu-kupu. Gelombang baru hak-hak hewan mempengaruhi dukungan untuk tidak lagi menjadikan hewan sebagai bagian dari ritus agama. Bisa saja sebagian mereka tetap memakan hewan. Itu bagian dari kebutuhan pada vitamin hewan. Tapi mereka tak lagi nyaman menjadikan hewan secara massal disembelih, dengan darah yang mengucur, sebagai bagian dari ritus agama. -000- Di hadapan kita kini terhidang tiga pemandangan. Pertama, pandangan mayoritas, dengan Majelis Ulama Indonesia sebagai jangkarnya. Kurban hewan itu tak bisa diganti. Tak ada yang mengungkapkan. Kedua, pandangan Muhammadiyah. Untuk kasus khusus, seperti di era COVID19, kurban hewan bisa diganti. Ketiga, pandangan yang disampaikan oleh Shahid Ali Mutaqqi. Waktunya, kita tak lagi menyembuyikan hewan secara massal, sebagai bagian ritus agama. Bagaimana kita menyikapi hal ini? Jangankan perbedaan tafsir. Perbedaan fakta pun sudah kami terima. Contoh sederhana kasus Nabi Ibrahim AS ini sendiri. Agama Kristen meyakini anak yang dikurbankan itu adalah Ishak bukan yang lain. Tapi agama Islam meyakini anak yang dikurbankan itu adalah Ismail bukan yang lain. Ada dua fakta yang berbeda, satu Ishak, satu Ismail. Pasti ada yang salah di antara dua fakta berbeda itu: Ishak atau Ismail. Mustahil dua fakta yang membedakannya benar keduanya. Agama Kristen dan agama Islam dua-duanya sudah lahir lebih dari seribu tahun. Kedua agama dianut lebih dari satu miliar manusia. Kita belajar dari kasus ini. Fakta yang salah pun pun bisa terus diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia dan diperkirakan lebih dari seribu tahun. Namun kali ini kita tak perlu lagi bicara salah dan benar. Ini zaman kita menghormati saja apa yang menjadi keyakinan. Jika perbedaan fakta saja kita bisa toleran, apalagi perbedaan tafsir. Biarkan perbedaan tafsir itu tumbuh dan biarkan masyarakat sendiri yang memilih sesuai dengan semangat zamannya. Menjadikan hewan yang dikurbankan sebagai ritus agama yang potensial semakin dibahas di era menguatnya hak-hak hewan. *** *Denny JA adalah penulis senior CATATAN (1) Pandangan agar hewan tak lagi dijadikan kurban ritus agama Kurban “Idul Adha” (2) Pandangan MUI, kurban hewan tak bisa diganti Fatwa MUI: Ibadah Kurban Tak Dapat Diganti dengan Uang atau Barang (3) Pandangan Muhammadiyah, di era Covid, hewan kurban bisa diganti sedekah

Berita Terkait