cantik123 Oleh Akmal Nasery Basral* COSMO"> cantik123 Oleh Akmal Nasery Basral* COSMO"> cantik123 Oleh Akmal Nasery Basral* COSMO"> COSMOABC.COM - cosmoabc.com
DECEMBER 9, 2022

Ketika Elon Musk dan Jeff Bezos Bersemayam di Mahakam

image

Oleh Akmal Nasery Basral* COSMOABC.COM – Akhir pekan kemarin saya menjalani staycation di Mahakam24 Residence, Blok M, Jakarta Selatan. Ini hotel hemat yang pernah mempunyai Pisa Gelato dan Café Pisa24, dua tempat makan favorit Gen X dan Gen Y, namun kini tinggal kenangan dalam arus deras perubahan sejarah kuliner warga Jakarta. Jalan Mahakam 1 di depan hotel masih tetap ruas jalan sibuk pada siang hari dan lebih banyak keramaian pikuk di malam hari, dengan limpahan para pemburu kuliner jalanan ( food street) yang mengincar eksotisme rasa gultik (gule tikungan), sate taichan, roti cane, telur gulung , es doger, dan aneka jajanan tradisional lainnya. Lokasi stasiun MRT Blok M yang canggih dan pusat komunitas kesenian di Wapres (Warung Apresiasi) menjadi magnet selanjutnya kawasan yang penuh vitalitas ini. Akan tetapi saya datang dan bermalam di Mahakam bukan untuk bercengkerama dengan masa lalu. Saya sebagai Gen X dan imigran digital sedang berada di gerbang masa depan kecerdasan buatan (AI). Pameran 188 lukisan Denny JA dengan bantuan AI merupakan medium yang tepat untuk merasakan degup kehidupan baru terra incognita ini. Bagaimana saya harus memaknai kreasi inovatif Denny JA–yang bukan seorang pelukis dalam pengertian konvensional–dan saya pun bukan pelukis atau kritikus seni rupa? Maka, datang dan lihat dalam sekali kunjungan seperti lazimnya dilakukan wartawan budaya untuk menulis reportase atau kritik seni rupa dalam menuangkan telaah, bukan pendekatan yang tepat. Saya memilih cara memandang yang lebih menantang: sebagai tamu hotel yang tinggal 1×24 jam sehari semalam. Berbeda dengan sebagian besar tamu yang menginap di Mahakam24 Residence. Dengan demikian, tulisan ini lebih bercirikan buku harian atau jurnal pribadi daripada resensi mendalam atau ulasan kritikal. -000- Check-in usai pukul 14.00 WIB Sabtu 8 Juni, saya makan siang refleks menu ayam ketumbar (chicken coriander) sambal matah dan cold americano coffee. Menu eksperimen yang saya lakukan ini, memuaskan, tidak salah pilih dan mengecewakan ekspektasi. (Bagi yang hobi bertualang sensasi rasa, silakan coba sendiri di Nomu Lounge dengan harga setara dengan kedai makan pinggir jalan!). Sekitar jam 15 tur lukisan yang dipandu Tina, Manajer Mahakam24 Residence, dimulai. Berawal dari lantai 7—lantai tertinggi—yang memampangkan puluhan lukisan bertema Imajinasi Anak-Anak. Lukisan tersebar di dinding-dinding selasar. Setelah itu kami turun ke lantai 6 yang mengusung tema Derita Gaza, Palestina, lantai 5 yang menampilkan Revisiting Pelukis Dunia, lantai 3 (karena tak ada lantai 4) yang mengibarkan topik Meditasi dan Jakarta Tempo Dulu, dan lantai 2 yang menampilkan Pilpres 2024 dan Covid -19. Di setiap lantai terdapat kanvas yang bertuliskan Kutiupkan nafasku dan emosi ke dalam lukisan yang dibantu oleh Artificial Intelligence – Pameran 182 Lukisan Denny JA + AI, foto setengah badan sang pemilik nama, empat contoh lukisan AI dalam ukuran kecil, serta informasi tema lukisan di setiap lantai . Beberapa lukisan sudah pernah saya lihat di Galeri Cemara saat acara Penghargaan Satupena Awards 2022 kepada penyair Eka Budianta (kategori fiksi) dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Musdah Mulia (kategori nonfiksi), pada Desember 2022. Satupena adalah perhimpunan penulis nasional yang berdiri pada 2017 dengan ketua umum pertama Nasir Tamara (2017-2021), dilanjutkan oleh Denny JA (2021-2026). Namun koleksi lukisan AI yang dipajang di Mahakam24 Residence jauh lebih berlimpah. Rentang waktu 1,5 tahun (Desember 2022 – Juni 2024) rupanya dimanfaatkan Denny JA dengan menggarap lukisan-lukisan baru yang lebih variatif dan eksploratif. Malam harinya, saya kembali mendapatkan kesempatan tur visual. Kali ini dipandu Direktur Operasional Fadiel Muhdi Bahar, membuat saya lebih terhubung dengan lukisan-lukisan yang ditampilkan meski saya masih belum membuat catatan khusus selain membiarkan mata menikmati komposisi yang tersaji dan pikiran merekam kesan secara acak. Ada dua alasan mengapa saya melakukan itu. Pertama, dalam konteks sebagai tamu hotel, saya memerlukan waktu mandiri, untuk berinteraksi lebih dekat dengan seluruh lukisan. Memperhatikan lebih seksama semua gurat, torehan, sapuan, dan elemen visual yang terhampar di atas kanvas, sambil menyelami sedalam mungkin setiap pesan komunikasi visual yang disampaikan. Kedua, saya masih ingin sebuah eksperimen yang lebih luas. Maka usai bertemu Fadiel, saya keluar hotel untuk ciuman gultik, telur gulung, dan es doger, di keramaian pecinta kuliner Jalan Mahakam dalam dekapan sepoi angin malam. Saya mengundang empat orang Gen Z yang aktif di dunia seni kreatif. Mereka adalah Lolaa Adiya (pendiri-pemilik PH Creative Eunoia, sutradara film pendek), Mir Dupin/Gatya Ranu (Mir Dupin nama panggung sebagai musisi indie yang memproduksi single Waterfallian di Spotify, sedangkan Gatya Ranu nama asli dan identitas sebagai TikToker), Adithya Pram (mantan Ketua Senat Mahasiswa Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta), dan Aurora Zaslin (asisten film Hanung Bramantyo untuk film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa yang sedang tayang di bioskop). Keempatnya berusia 22-23 tahun, generasi digital native (born-digital) yang piawai berselancar di dunia virtual. Mereka saya ajak melihat lukisan AI karya Denny JA, dan langsung merespons dengan kreasi masing-masing seperti membuat komposisi IG Story, IG Reel, dan TikTok, secara kreatif. Sepengetahuan mereka, belum pernah ada orang membuat pameran lukisan dengan bantuan AI seperti karya Denny JA, apalagi dengan jumlah hampir dua ratus kanvas berukuran besar. Ini saja sudah menjadi inovatif dalam dinamika kegiatan kesenian kontemporer. -000- Minggu 9 Juni pagi setelah menyantap pisang goreng hangat dan mocktail leci segar sebagai sarapan di Nomu Lounge, saya kembali bercengkerama dengan kumpulan lukisan. Kali ini seorang diri. Entah berapa orang tamu yang lalu-lalang atau karyawan housekeeping yang memerhatikan saya di setiap lantai, sedang berkhidmat di depan lukisan demi lukisan, dengan antusiasme layaknya Charlie yang penuh semangat ketika mengunjungi pabrik cokelat karya Roald Dahl. Ke-188 lukisan yang terpampang, saya kelompokkan ke dalam dua tipe yaitu dipantik oleh pergulatan internal dunia batin Denny JA, dan sebagai responnya atas peristiwa-peristiwa eksternal yang terjadi di luar diri. Jenis lukisan pertama contohnya tema Lailatul Qadar yang terdiri dari belasan lukisan dalam berbagai ukuran kanvas dan bauran visual. Komposisi lukisan bersifat tipikal dengan separuh bagian atas menggambarkan kondisi langit malam dalam format aneka bentuk garis, kurva, dan warna, sedangkan separuh bagian bawah menampilkan manusia dalam berbagai jumlah dan posisi. Terkadang seorang, terkadang banyak. Kadang lelaki, kadang perempuan. Semua dalam posisi berdoa. Khusyuk. Lailatul Qadar—malam pengaturan/penetapan, sering juga diterjemahkan bebas sebagai malam kemakmuran—adalah konsep tentang adanya sebuah malam suci pada bulan puasa Ramadhan yang dinantikan kedatangannya oleh umat Islam. Malam kemuliaan ini bernilai lebih baik dari seribu bulan (QS 97: 3). Dengan membuat lukisan berseri bertema ini, Denny JA bukan saja sedang meletakkan hati dan kerinduan spiritualnya ke atas kanvas, juga seakan hendak melengkapi Teori Kebutuhan Dasar ( Hierarchy of Needs) dari Abraham Maslow. Bahwa manusia tak cukup hanya ditopang dengan kebutuhan fisiologis (kebutuhan fisiologis), kebutuhan keamanan (kebutuhan rasa aman), kebutuhan sosial (kebutuhan sosial), kebutuhan ego (kebutuhan egoistik) dan kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan aktualisasi diri). Manusia juga memerlukan kebutuhan keyakinan (spiritual need) secara mutlak, terlepas dari tingkat aktualisasi diri yang sudah dicapainya. Termasuk dalam kelompok ini adalah lukisan-lukisan yang menginspirasi Denny JA bersumber kata guru sufi Jalaluddin Rumi berjudul The Light Enters You Through The Wound dan Sit, Be Still and Listen. Sebuah lukisan lain membuat saya merasa agak lama. Seorang lelaki berada di atas kuda putih dalam pelukan remang hutan di bawah langit malam diterangi cahaya beberapa–ya, bukan satu—rembulan. Judul Cahaya Mana yang Harus Saya Ikuti? yang tertoreh di atas kanvas membuat saya curiga bahwa kalimat itu merupakan pantulan pertanyaan batin Denny JA sebagai pencipta lukisan. Namun, wajah sang penunggang kuda yang tak terlihat tersebab posisinya yang membelakangi, membuat pertanyaan simbolis-eksistensialis pada judul itu tak lagi bersifat personal karena bisa menimbulkan resonansi di kepala siapa saja yang melihatnya. Mereka yang sedang menjadi para pencari cahaya. Lukisan yang bersifat internal (diproduksi dalam olah jiwa dan pikiran Denny JA) namun tidak bersifat sakral-relijius adalah tema Imajinasi Anak. Pada bagian ini kita melihat anak-anak kecil dengan berbagai kondisi yang pasti, bahkan tidak masuk akal. Misalnya seorang gadis kecil ditemani gajah raksasa dengan kaki kurus panjang khas imajinasi Salvador Dali dalam The Elephants. Sang gadis cilik dan gajah aneh berada di sebuah ruas jalan kota besar dikurung gedung-gedung jangkung seperti di New York City (Child Imagination #1). Lukisan yang menggambarkan pantai ramai pengunjung dengan seorang bocah lelaki yang melayang di atas mereka, bukan dengan papan seluncur namun berdiri di atas gawai raksasa, juga mengandalkan imajinasi yang kuat. (Imajinasi Anak #13). Belasan lukisan lain menggambarkan anak-anak dalam beragam kemusykilan (mengendarai anjing raksasa yang mengalahkan kuda-kuda balap dalam sebuah pacuan; mengendarai lumba-lumba yang melayang di depan pantai sebuah tepi laut kota supermodern; atau menyelam di dasar lautan bersama putri duyung di depan sebuah istana megah (memiliki Raja Neptunus?), menimbulkan imaji dan fantasi yang klop dengan bantuan AI sebagai generator kecerdasan buatan. Namun senyuman lebar saya melihat kegembiraan anak-anak itu langsung berganti dengan nafas tercekat dan mata sahabat begitu sampai di depan kumpulan lukisan bertema Derita Gaza, Palestina. Seorang anak perempuan menunduk sedih di depan tank Merkava tentara Israel. Asap tebal membumbung di bagian kiri lukisan dan di sepanjang gedung dan bangunan di bagian kanan (Tahun Baru di Gaza #1). Sebuah lukisan yang menggambarkan seorang anak lelaki tergeletak di antara puing-puing bangunan dengan latar belakang langit merah membara. Kaos luluh yang dipakai menampilkan bendera Palestina. Bocah lelaki ini memiliki dua sayap putih lebat terkepak sebagai penanda bahwa dia sudah tiada (Help Us in Gaza #1). Lukisan ini juga digunakan sebagai sampul depan buku Perang Pecah (Lagi) di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina SATUPENA yang diluncurkan Desember 2023 di Restoran Al Jazeerah, Jatinegara, berbarengan Penghargaan Satupena Awards 2023 yang diberikan kepada Putu Wijaya untuk kategori fiksi dan Prof. Komarudin Hidayat untuk kategori nonfiksi. Melihat dua sisi kehidupan anak-anak yang manis, lucu, menyenangkan (Imajinasi Anak-Anak) dan pahit, tragis, tragis (Derita Gaza, Palestina) menimbulkan sensasi pahit manis pada perasaan saya, dan mungkin juga pada para tamu hotel lainnya. Lukisan-lukisan tipe kedua yang lebih merupakan respon estetika Denny JA terhadap rangkaian karya pelukis dan seniman dunia seperti Edvard Munch (The Scream), Fernando Botero (Monalisa Age 12), Pablo Picasso (The Old Guitarist), Edgar Degas (The Blue Dancers) , Gustav Klimt (Potret Adele Bloch-Bauer), Vincent van Gogh (Teras Kafe di Malam Hari), Frida Kahlo (Rusa yang Terluka), Rembrandt (The Night Watch), Leonardo da Vinci (Perjamuan Terakhir), Claude Monet (The Kolam Teratai), Michelangelo (Pieta), Salvador Dali (Kegigihan Kenangan), Dede Eri Supria (Di Sudut Kota), Affandi (Ibuku), Raden Saleh (Penangkapan Pangeran Diponegoro), dan banyak lainnya, mengajak saya bolak-balik ke masa lalu dan masa depan. Interpretasi ulang Denny JA terhadap karya-karya para maestro dengan membubuhkan label revisiting/revisited itu sebuah langkah berani yang tak mampu diambil dengan pakem-pakem konvensional atas nama sakralitas karya. Sebab, semua karya masyhur itu ditambahkan Denny JA dengan minimal satu elemen visual baru yang mengasosiasikan eksistensi dunia digital. Entah dalam bentuk cyborg (separuh manusia separuh mesin), hewan robotik, dan lainnya. Ada karya bernuansa humor seperti Mao (1973) ciptaan Andy Warhol, yang ditambahkan Denny JA dengan latar belakang Cina modern dan gedung-gedung pencakar langit hasil olahan AI, atau pada The Night Watch (1642) karya monumental Rembrandt. Jika pada karya aslinya terlihat kumpulan lelaki anggota milisi penjaga kota dalam gaya tenebrisme (gaya lukisan yang menampilkan cahaya kontras dengan efek gelap yang mendominasi kanvas dan berfungsi sebagai latar belakang), maka dengan bantuan AI yang digunakan Denny JA ada tambahan seorang pemuda zaman sekarang dan tren memegang gawai dalam posisi selfie, memotret dirinya dan para milisi. Pada lukisan The Art of Painting (1668) adikarya Johannes Vermeer, versi revisited Denny JA (dengan bantuan AI) menampilkan seorang perempuan yang sedang menjadi model lukisan seorang pelukis yang sedang bekerja. Tangan sang pelukis terlihat. Namun alih-alih memegang palet dan kuas, yang digunakannya adalah iPad dengan stylus warna merah mencolok. Menurut saya, inilah lukisan yang paling jitu menangkap lukisan spirit sebagai sebuah karya visual (dalam paradigma dunia lama) dengan sentuhan AI (sebagai produk dunia baru). Bahkan judul The Art of Painting yang diberikan Vermeer masih bisa diinjeksi semangat serupa menjadi The Art of Painting (with AI) oleh Denny JA, jika dia mau. Selain para maestro seni lukis, para tokoh global yang muncul di kanvas adalah Bunda Theresa (Attention to Loneliness), Dalai Lama (Listening to Loneliness), Mahatma Gandhi (Listening to Poverty), Albert Einstein (Listen to The Laws of Nature), sampai Elon Musk (Living In Mars) dan Jeff Bezos (Belanja Online). Dua tema lainnya dari pameran lukisan ini yaitu Covid-19 dan Pilpres 2024 yang memenuhi dinding dan selasar hotel di lantai 2, lebih bercorak news gallery dibandingkan sebuah ikhtiar kontemplatif dalam menyelami makna di balik peristiwa. Elemen inovasi dan kebaruan gagasan pada lukisan-lukisan dengan dua tema ini tak berdiskusi pada tema-tema lainnya dalam pengindraan saya. -000- Seperti yang sudah saya tulis di depan bahwa saya tidak mengkritik rupa, maka saya tidak berpretensi kritik menulis secara komprehensif. Saya hanya seorang tamu hotel dalam 1×24 jam. Entah turis backpacker mancanegara atau pebisnis UMKM dari luar kota yang sedang ada urusan di Blok M. Tema lukisan yang paling saya nikmati adalah meninjau kembali/meninjau kembali karya-karya pelukis dunia. Bagi peminat seni lukis yang serius, apalagi kritikal, boleh jadi sebaliknya. Lukisan-lukisan tema ini bisa terlihat sebagai pastiche (karya mentransfer yang meminjam elemen karya-karya lain yang lebih sohor), bahkan sebagai kitsch yang dalam pandangan Theodor Adorno (1903 – 1969, sosiolog-filsuf Jerman motor Mazhab Frankfurt), adalah “fenomena industri budaya di mana seni diposisikan sebagai karya yang dibuat dan dikendalikan oleh kebutuhan pasar”. Penilaian seperti ini sangat mungkin muncul dari lukisan lainnya seperti Cafe Terrace at Night karya van Gogh namun dengan improvisasi penambahan sosok baru, seorang perempuan berwajah Oriental sedang bekerja dengan laptop di seberang para pengunjung kafe. Tema yang menarik lainnya bagi saya adalah serial merenungkan, permenungan, dan cuplikan kata-kata sufistik. Ini sangat dibutuhkan sebagai tamu hotel yang biasanya dilakukan dengan riuh kesibukan duniawi. Dengan melihat lukisan-lukisan tema ini yang digarap dengan memadukan kedalaman makna spiritual dan eksperimen visual AI akan cukup mampu memberikan efek keteduhan. Yang paling kurang saya nikmati—dalam konteks sebagai tamu hotel—adalah tema Covid-19 dan Pilpres 2024. Visualisasi korban Covid-19, bentuk virus, pemakaman, petugas dengan hazmat, proses vaksinasi, hemat saya bisa mendatangkan pengalaman kurang menyenangkan, sampai trauma, bagi tamu hotel yang kehilangan anggota keluarga tercinta pada masa pandemi yang belum lama berlalu. Bahkan bagi para pecinta pun, melihat kembali rangkaian lukisan pandemi saat mereka masuk dan keluar kamar, atau sekadar melintasi selasar, akan membuat kurang nyaman. Pun dengan tema Pilpres 2024. Kendati Denny JA menampilkan secara proporsional sosok ketiga pasangan (Anies Baswedan-Cak Imin, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud MD) dan para pendukung utama mereka (Rhoma Irama, Ahmad Dhani, Slank) pada berbagai kanvas, namun estetika visual dan peran AI sebagai “asisten” Denny JA dalam mengkreasi lukisan, tidak mencapai daya kejut optimal seperti pada tema Revisiting atau Meditasi. Penempatan beberapa lukisan juga berpotensi mengurangi kenikmatan seperti gangguan tiang bangunan. Atau lokasi penempatan yang kurang optimal seperti lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (Raden Saleh, 1857) yang dalam versi revisited Denny JA (2023) dipasang di dinding kanan undakan menurun di lantai 5. Sementara bertahan di seberang tangga, pada posisi yang lebih strategis, terpampang lukisan Gustav Klimt Potret Adele Bloch-Bauer yang–saya yakin–sangat asing bagi sebagian besar tamu hotel kecuali penikmat lukisan serius. Jika posisi lukisan Raden Saleh dan Gustav Klimt ini ditukar posisi, hasilnya akan lebih bagus lagi. Di luar beberapa catatan kecil ini, pertanyaan saya tentang mengapa nuansa suram, kesendirian, kesedihan, kesedihan, penderitaan, begitu mendominasi dan terasa kental pada 188 lukisan kreasi Denny JA, rupanya mendapat jawaban dari salah satu lukisan yang terpajang di lantai 3. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan duduk di atas kasur, memandang ke luar jendela. Tak ada orang lain di dalam kamar tidurnya kecuali sesosok cyborg di pojok kanan lukisan yang tak dilihat perempuan itu. Judul lukisan? Hati yang Kesepian Tidak Bisa Disembuhkan Dengan AI. Dahsyat bukan? Apakah ini sebuah nujum teknologi masa depan dari Denny JA? Waktu yang akan menjawabnya. Untuk saat ini, mari nikmati sensasi lukisan yang tersaji sesuai wawasan dan ekspektasi masing-masing. Dan Anda–entah pecinta lukisan atau pecinta kuliner atau bahkan keduanya–bisa datang kapan saja ke Mahakam24 Residence setiap saat karena lukisan-lukisan itu akan dipasang permanen. Termasuk Elon Musk dan Jeff Bezos yang sedang bersemayam di Mahakam. Ketika check out pukul 13.00 WIB Ahad dari hotel, saya merasakan ini salah satu momentum yang efektif untuk staycation yang sehat dan bermanfaat. *** *Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 dari Universitas Andalas untuk kategori Sastrawan/Budayawan Nasional dan Anugerah Penulis Nasional Satupena 2021 kategori fiksi.

Berita Terkait